Pengetahuan Mengenai Busana Muspa dan Bersembahyangan


Oleh : Kader Pelestari Budaya Provinsi Bali Angkatan XI Kabupaten Badung

Secara Makro sejarah perkembangan Tata busana di mulai pada akhir periode zaman glacial dari zaman pleistosen (25.000 tahun yang lalu) ditemukan bahwa umat manusia sudah memiliki skill dan keterampilan membuat anting-anting dari batu dan ukiran gading. Sisa dari hasil produk itu dapat diketemukan sebagai temuan arkeologis sampai pada era zaman glacial ini. Menurut peneliti pada zaman itu manusia tidak membutuhkan busana dari dinginnya es dari bagian utara dan tengah benua eropa. Walaupun demikian, iklin dan cuaca dingin di bagian utara dan tengah benua eropa tidah dapat di tahan oleh umat manusia lalu mereka pindah bagian selatan eropa yang bersuhu panas. Pengalaman menghadapi cuaca yang sangat dingin mereka memiliki banyak keahlian atau skill untuk bertahan hidup di daerah yang lebih stabil yaitu di daerah selatan benua eropa.
Pada kehidupan baru mereka di daerah selatan benua Eropa banyak ditemukan benda-benda teknologi semacam jarum. Para ahli menduga, jarum dipergunkan untuk menyulam kulit dan bulu binatang yang dapat digunakan untuk menutupi bagian tubuh mereka (Penemuan di temukan di RUSIA).
Secara mikro atau menurut kepercayaan rakyat bali mengenai perkembangan tata busana dikemukakan berdasarkan sumber-sumber filologi dianataranya pada : Lontar Dharmo Lelangon, Lontar Panji Amalat Rasmi, Lontar Tantri Panggelaran. Lontar-lontar tersebut mengemukakan kecenderungan memberikan motivasi, tuntunan serta kepatuhan manusia dalam berbusana sebagai usaha melestarikan dan mengembangkan konsep ajaran tata susila agama hindu dalam tata karma. Contohnya dalam Lontar Usana Jawa Niti Praja yang mengemukakan proses terjadinya pakaian atau busana di daerah Bali. Dalam lontar ini di tulis bahwa busana merupakan sebuah petunjuk serta tuntutan dari para dewa.
Pada mulanya Dewa Brahma menciptakan dunia ini dengan sempurna, agar menjadi lebih sempurna Brahma menciptakan 3 jenis makhluk yaitu manusia dengan jenis kelamin Pria, wanita, dan bancih. Manusia yang diciptakan itu masih sangat kosong, tanpa pikiran, tanpa tata karma, tanpa agama dan tanpa busana serta hidup masih seperti binatang. Oleh karena hanya memiliki nafsu, mereka hidup sangat liar dan brutal, sex bebas dimana-mana,berkelahi hingga saling memakan. Menyaksikan perilaku umat-umatnya seperti itu, Dewa TriNetra yakni Dewa Siwa merasa muak dan sedih menyaksikan semua itu. Dengan segala pertimbangan dan pemikiran Dewa Siwa berkehendak membasmi manusia yang tak beragama dan tak bertata karma. Sebagai sarananya, Dewa Siwa berkehendak agar Saktinya Uma Dewi melahirkan seorang putra dan dengan segala kekuatan yang ada di Jagat Raya Ia menjadikan putranya amat Sakti mandra Guna. Dan Ia ingin utus putranya itu turun ke Madyapada untuk menghabiskan manusia yang tak beragama dan tak bertatakrama.
Namun sayangnya keinginannya itu ditolak oleh Uma Dewi yang membuat Dewa Siwa mengalami katugan. Kamanya jatuh ke Madyapada, dan mengatakan pada para  Dewa NawaSanga, apabila Kama itu berkembang akan menyusahkan para Dewa. Dewa Siwa memerintahkan para dewa untuk segera bertindak. Para dewa langsung menyerang dari berbagai arah dan menggunakan wrayangnya masing-masing. Namun semakin diserang kama tersebut menjadi semakin mendekati bentuk sempurna. Para Dewa pun menyerah dan berteriak minta tolong kepada Dewa Siwa. Kama memohon-mohon agar ia di akui sebagai anak Dewa Siwa, lalu Dewa Siwa mengakuinya sebagai anak yang diberi nama Bhatara Kala.Kemudian Bhatara Kala di utus kembali ke Madyapada untuk memangsa manusia yang tidak memiliki agama dan tatakrama. Namun manusia belum ada yang membimbing kea rah yang benar semua manusia pun di musnahkan oleh bhatara Kala.Melihat kejadian tersebut Dewa Wisnu sebagai dewa pengayom dan pemeliharan merasa tidak tega. Akhirnya Dewa Wisnu dan Dewa Indra mengadakan musyawarah. Menurut Dewa Siwa, Bhatar Kala tidak dapat dikalah dengan kekarasan senjata,melainkan dengan Satya (Kebenaran), Dharma( Kebajikan), Santhi (kedamaian), Prema (kasihsayang), dan Ahimsa( Tanpa Kekerasan). Kemudian Dewa Indra memerintahkan Dewa-Dewa dengan kesaktian masing-masing termasuk juga para pengiringnya para Gandarwa dan Widyadari turun ke Madyapada untuk mengajarkan para manusia. Sejak saat itu kehidupan manusia menjadi lebih baik walaupun masih sederhana, tatakrama berbusana mereka sudah lebih baik dan berkembang hingga sekarang.”
Diatara perubahan dan perkembangan tata busana adat Bali pada era sekarang, justru busana adat ke Pura untuk melakukan pemuspaan dan persembahyangan yang paling menonjol, terutama tata busana prianya.Unsur, struktur busana lanang pada waktu memedek ke Pura untuk melakukan persembahyangan dan pemuspan, adalah destar petak, kwaca petak, kampuh kuning, sedangkan wastranya bebas. Tata busana adat bagi wanitanya pun sama, tetapi tidak memakai destar, melainkan mapusung, selaras dengan kedudukan dan status simbolnya. Kelengkapan yang patut dibawa oleh wanita dengan tata busana adat istrinya, adalah eteh-eteh dan perlengkapan pamuspan dan persembahyangan yang terdiri atas bokor perak, imitasi bahkan bagi yang mampu bokor emas yang berisi berbagai warna-warni bunga, kwangen, batil, dupa, dan korek. Maksud setiap pemedek berusaha membawa perlengkapan dan eteh-eteh pemuspan yang lengkap, adalah untuk menghindari agar pada waktu sedang khusyuknya bersembahyang dan muspa tidak saling mengganggu, sehingga konsentrasi menjadi buyar. Sehingga goals persembahyangan dan pemuspan tidak tercapai.
Tata busana adat dalam kebudayaan Bali, pada dasarnya dibedakan menjadi bentuk dan jenis diatara lain.
1.      Busana Lanang
Busana adat Lanang adalah busana kaum pria Bali, yang unsure-unsurnya terdiri atas udeng (destar), kampuh (saput), wastra (kain). Secara structural penggunaan unsure-unsur busana  yang telah dikemukakan, udeng (destar) merupakan busana adat Bali yang digunakan sebagai ikat kepala. Kampuh(saput) sebagai penutup dada (dipasangkan di bawah ketiak) dalam penampilan yang non protokoler, kampuh (saput) ini digunakan sebagai bebed (ubed-ubed), dilipat memanjang dililit di pinggang, atau ada kalanya lebih atas lagi sampai menutupi pusar. Yangb paling bawah baru wastra (kemben, kain) yang dipasang sedemikian rupa, pinggir wastra yang di kanan di taruh di bagian adas , selaku nyasa purusa sekaligus ujungnya lepas berjela-jela kebawah yang disebut kancut yang juga disebut nyasa kepurusaan. Untuk lebih tertibnya berbusana adat Bali, wastra ini di lengkapi dengan pepetet (sabuk yang terbuat dari kain) untuk mengikat wastra agar tidak mudah lepas. Lebih-lebih bagi pria Bali yang berbusana adat, baik dalam keseharian maupun persifat protokoler, kepatutan anyungklit kris dalam penampilan merupakan salah satu tolak ukur atta karma yang basic. Sehingga dengan adanya pepetet keris yang disandang di pnggang sebelah kiri (nyasa siap tempur) atau pun di sandang di pinggang belakang dengan danganan mengarah kekanan (nyasa ring ayu dalam keadaan aman dan tenang), akan menjadi lebih kuat, tidak mudah lepas. Atau keris yang disandang, tidak mudah terjatuh pada saat bergerak atau sedang berjalan. Contohnya dapat dilihat seperti penggunaan sabuk tubuan yang biasa di pakai selaku unsure busana adat kruna tenganan pegeringsingan.  Satu unsure perhiasan yang melengkapi busana adat pria Bali, adalah tindik, anting-anting merupakan perhiasan telinga. Pada zaman dahulu pria Bali biasanya melobangi telinganya yang disebut metebek.
2.      Busana Istri

Unsure pokoknya terdiri dari Kamen crik (kancrik), pepetet (sabuk/stagen), wastra, dan sinjang/ tapih. Kamen crik merupakan busana istri kaum wanita bali dewasa yang memiliki kegunaan bermacam-macam  yaitu yang pertama kegunaannya sebagai tengkuluk, baik sebagai tengkuluk raresonan yang bentuknya bermacam-macam, maupun untuk tengkuluk yang lebih khas lagi sebagai wesa aktivitas mebanjar mati bagi wanita Bali terutama hari pengutangan ke setra. Yang kedua selain digunakan sebagai tengkuluk juga di gunakan sebagai anteng atau penutup dada sejenis kamen adat wanita Jawa. Kamen crik juga digunakan sebagai bebed yang dililitkan di pinggang, kalau wanita Bali berhadapan dengan orang yang dihormati atau di Tua-kan. Guna kamen crik yang lain adalah sebagai kalung, namun bukan sembarang kalung, melainkan wujud kalung yang basic dan konseptual (ingat pada dasarnya pakaian adat wanita bali tidak mengenakan baju tapi top less yang bebas dari unsure pamer). Kamen crik juga berfungsi sebagai suunan tat kala wanita Bali menjunjung sesuatu di atas kepalanya. Busana pokok yang lainnya yakni pepeten, wastra dan sinjang merupakan busana adat wanita Bali yang tak terpisahkan karena sinjang unsure busana yang lansung menutupi bagian tubuh yang paling rahasia. Setelah itu di atasnya baru di pakaikan kain yang pinggiran kirinya berada di atas pinggiran kanan (nyasa pradana) setealh itu baru di lilitkan dengan pepetet (sabuk/stagen). Hiasan telinga dalam busana wanita adat Bali di sebut Subeng. Subeng yang digunakan wanita Bali tidakn hanya sebagai perhiasan tapi juga merupakan wesa dan status kedudukan wanita yang memakainya seperti subeng sungsungan saat berkedudukan sebagai rare, subeng busungan tatkala berkedudukan daa nyoman. Subeng ental yang berkedududkan sebagai daa bunga atau daa. Subeng ental dalam hari raya dan hari protokoler lainnya dapat diganti dengan subeng emas dan perak.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKNA FILOSOFIS DAN TEOLOGIS PADA UPAKARA DAKSINA SERTA UPARENGGA KLANGSAH/KELABANG PADA UPACARA AGAMA HINDU DI BALI

Pelatihan Observasi Bawah Air (OBA): Upaya untuk Melestarikan Ekosistem Perairan Bali

MAKNA UPAKARA CANANG SARI DAN UPARENGGA KELABANG MANTRI