MAKNA UPAKARA CANANG SARI DAN UPARENGGA KELABANG MANTRI

MAKNA UPAKARA CANANG SARI DAN UPARENGGA KELABANG MANTRI
Oleh : Kader Pelestari Budaya Kabupaten Badung

Beragama di zaman modern seperti sekarang ini, tidak dapat disamakan dengan kehidupan beragama pada masa silam. Kehidupan masyarakat masa lalu yang secara profesi, intensitas waktu dan aktivitas masih sangat terbatas, sangat berbeda dengan fenomena masyarakat masa kini dengan padatnya rutinitas, aktivitas, dan semakin kompleksnya kebutuhan hidup masyakaratnya. Adanya perbedaan kondisi masyarakat tersebut merupakan salah satu sebab adanya indikasi perubahan maupun pergeseran pada praktek agama, khususnya pada tatanan ritual. Tingkat pemahaman, cara berpikir, dan latar belakang pendidikan yang dimiliki oleh masyakarat masa kini, juga menjadi faktor bergesernya praktek keagamaan tersebut. Pergeseran agama yang dimaksudkan pada tulisan ini, adalah khusus pada pelaksanaan ritual masyarakat hindu di bali, yang kental dengan penggunaan Upakara dan uparengga sebagain sarana pokok dalam pemujaan ritual yang maha esa.
Pemakaian Upakara  di Bali oleh umat Hindu merupakan sebuah simbol atau niyasa dari Tuhan dan pengharapan dari umat Hindu itu sendiri. Kita mengenal berbagai istilah yaitu Upasana, Upacara, Upakara, dan Uparengga. Upasana merupakan aturan-aturan atau pedoman pelaksanaan persembahyangan, Upacara adalah bentuk ritual dan persembahyangan yang dilakukan oleh umat. Sedangkan Upakara  berasal dari kata Upa berarti dekat dan kara berarti tangan. Jadi Upakara adalah sebuah saranan dalam sebuah uoacara keagamaan yang dibuat dan diciptakan melalui hasil karya dari tangan. Selain dari pada itu, yang dimaksud dengan Uparengga adalah sarana dan prasaranan dalam membuat Upakara yang digunakan sebagai pelengkap suatu Upakara .
CANANG SARI
Bentuk dan fungsi canang menurut pandangan ajaran Agama Hindu di Bali memiliki beberapa bentuk dan fungsi sesuai bentuk dan kegiatan upacara yang dilaksanakan. Canang dapat dikatakan sebagai penjabaran dari bahasa Weda melalui simbol-simbolnya yaitu:
A.    Canang yang dialas dengan sebuah ceper adalah sebagai simbol “Ardha Candra” sedangkan canang yang dialasi dengan sebuah tamas kecil merupakan adalah sebagai simbul “Windhu”. Didalam ceper berisi sebuah porosan adalah sebagai simbol “Silih Asih” dalam arti, umat Hindu harus didasari oleh hati yang welas asih kehadapan Sang Hyang Widhi, demikian sebaliknya sebagai anugrah Beliau. Didalam ceper juga berisi jajan, tebu dan pisang, adalah sebagai simbol “Tedong Ongkara” menjadi perwujudan dari kekuatan, Upeti, Stiti dan Pralina dalam kehidupan di alam semesta ini. Diatas raka-raka tadi disusunkan sebuah sampian Urasari, adalah sebagai simbol kekuatan “Windhu” serta ujung –ujung sampian tersebuat adalah sebagai simbol “Nadha”. Diatas sampian Urasari disusunkan bunga-bunga dengan susunan sebagai berikut:
1.     Bunga putih disusunkan pada arah Timur sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Iswara.
2.     Bunga berwarna merah disusunkan pada arah Selatan adalah sebagai simbul Sang Hyang Brahma.
3.     Bunga berwarna kuning disusunka pada arah Barat adalah sebagai simbul Sang Hyang Mahadewa.
4.     Bunga berwarna biru atau hijau disusunkan pada arah Utara adalah sebagai simbul kekuatan Sang Hyang Wisnu.
5.     Kembang rampai disusunkan tepat ditengahnya adalah sebagai simbul kekuatan Sang Hyang Panca Dewata.
Dengan demikian canang adalah mengandung makna sebagai permohonan umat hindu kehadapan Sang Hyang Widhi (berwujud Ongkara) bahwa umatnya memohon kekuatan, untuk itu agar beliau bermanifestasi menjadi Ista Dewata.

KELABANG MANTRI
            Kelabang adalah sebuah anyaman dari daun kelapa yang pelepahnya masih utuh, sehingga kelihatan seperti sebidang dinding. Kelabang berasal dari suku kata : “Kala dan Abang”, dimana kata Kala dapat diartikan suatu kekuatan Sang Hyang Widhi yang bermutu “Asuri Sampad” (keraksasaan). Dengan adanya kekuatan kala, akan menimbulkan kesidian, karena kala tersebut adalah merupakan manifestasi Tri Guna yaitu Rajasika sehingga hal tersebut akan menjadi kekuatan gaib tertentu. Sedangkan kata “Abang” diilustrasikan sebagai Brahma, sedangkan Brahma adalah merupakan kekuatan pencipta, dalam menciptakan perlindungan sebagai proteksi dan menciptakan perlindungan sebagai proteksi dan menciptakan suatu kehidupan secara spiritual. Pada beberapa daerah, kelabang lebih dikenal dengan klangsah. Secara bentuk dan maknanya pada dasarnya sama. Secara etimologis, klangsah berasal dari kata kala dan pasah. Kala berarti kekuatan negatif, dan pasah berarti terpisah. Jadi secara semantik dapat kita maknai klangsah ini adalah uparengga yang digunakan sebagai sarana untuk memisahkan kekuatan negatif agar tidak mengganggu kehidupan manusia dalam beryadnya.
            Mengingat begitu penting dan luhurnya makna filosofis dan uparengga tersebut, maka sudah selayaknya umat hindu khususnya yang ada di Bali mampu membuatnya. Klangsah/kelabang ini biasanya digunakan untuk sebagai tembok pembatas dalam areal pelaksanaan yadnya, sebagai atap dalam bangunan adat, tetaring, dan juga biasanya sebagai alas dari tempat meletakkan upacara yadnya. Hal itu terjadi karena secara filosofis, klabang dipercaya mampu memisahkan unsur-unsur negatif di lingkungan sekitar agar tidak dapat mengganggu kesucian dari sarana persembahan yadnya tesebut.
            Pada intinya, masyarakat Bali khususnya yang beragama Hindu sebaiknya bijak dalam memaknai dan memanfaatkan sarana upacara dan simbol keagamaannya. Bentuk dari upakara/uparengga boleh berbeda, akan tetapi spirit dan pemaknaan dalam membuat upakara dan uparengga tersebut haruslah sama. Hal itu dapat tercapai apabila antara Tattwa, Susila, dan Acara umat Hindu dapat diseimbangkan. Apabila Acara (upacara dan praktek keagamaan) tanpa didasari oleh Tattwa (ajaran pokok keagamaan, filsafat, dan teologi) maka akan menjadi gugon tuwon di masyarakat. Apabila Susila (Ajaran etika dan prilaku) tanpa didasari Tattwa, maka akan menjadi boomerang yang membahayakan bagi orang tersebut. Sedangkan bagi mereka yang mempelajari Tattwa tetapi tidak dipraktekkan ke dalam Susila dan Acara maka dia akan menjadi pembohong dan penipu bagi dirinya sendiri. Hal yang utama dalam sebuah yadnya, upakara, maupun uparengga adalah karya, sreya, budhi dan bhakti. Karya berarti harus ada perbuatan, Sreya berarti keikhlasan, Budhi berarti kesadaran, dan Bhakti berarti sembah bhakti dan sarana pemujaan. Bukan kuantitas yang diutamakan akan tetapi kualitas yang paling penting, bukan sekadar pamer dan gengsi akan tetapi keikhlasan dan ketulusan untuk memuja kebesaran Ida Sang Hyang Widhi.


Komentar

  1. Numpang promo ya Admin^^
    ayo segera bergabung dengan kami di ionqq^^com
    dengan minimal deposit hanya 20.000
    add Whatshapp : +85515373217 ^_~

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKNA FILOSOFIS DAN TEOLOGIS PADA UPAKARA DAKSINA SERTA UPARENGGA KLANGSAH/KELABANG PADA UPACARA AGAMA HINDU DI BALI

Kemah Budaya VI : Juara 1 Lomba Karya Tulis Ilmiah (Putra)

Pelatihan Observasi Bawah Air (OBA): Upaya untuk Melestarikan Ekosistem Perairan Bali