Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2015

MAKNA FILOSOFIS DAN TEOLOGIS PADA UPAKARA DAKSINA SERTA UPARENGGA KLANGSAH/KELABANG PADA UPACARA AGAMA HINDU DI BALI

Gambar
OLEH I GEDE ARUM GUNAWAN KADER PELESTARI BUDAYA PROVINSI BALI Beragama di zaman modern seperti saat ini, tidak dapat disamakan dengan kehidupan beragama pada masa silam. Kehidupan masyarakat masa lalu yang secara profesi, intensitas waktu dan aktivitas masih sangat terbatas, sangat berbeda dengan fenomena masyarakat masa kini dengan padatnya rutinitas, aktivitas, dan semakin kompleksnya kebutuhan hidup masyarakatnya. Adanya perbedaan kondisi masyarakat tersebut merupakan salah satu sebab adanya indikasi perubahan maupun pergeseran pada praktek agama, khususnya pada tataran ritual. Tingkat pemahaman, cara berpikir, dan latar belakang pendidikan yang dimiliki oleh masyarakat masa kini, juga menjadi faktor bergesernya praktek keagamaan tersebut. Pergeseran agama yang dimaksudkan pada tulisan ini, adalah khusus pada pelaksanaan ritual masayarakat Hindu di Bali, yang kental dengan penggunaan upakara dan uparengga sebagai sarana pokok dalam ritual pemujaan Tuhan Yang Maha Esa. 

Pengetahuan Mengenai Busana Muspa dan Bersembahyangan

Gambar
Oleh : Kader Pelestari Budaya Provinsi Bali Angkatan XI Kabupaten Badung Secara Makro sejarah perkembangan Tata busana di mulai pada akhir periode zaman glacial dari zaman pleistosen (25.000 tahun yang lalu) ditemukan bahwa umat manusia sudah memiliki skill dan keterampilan membuat anting-anting dari batu dan ukiran gading. Sisa dari hasil produk itu dapat diketemukan sebagai temuan arkeologis sampai pada era zaman glacial ini. Menurut peneliti pada zaman itu manusia tidak membutuhkan busana dari dinginnya es dari bagian utara dan tengah benua eropa. Walaupun demikian, iklin dan cuaca dingin di bagian utara dan tengah benua eropa tidah dapat di tahan oleh umat manusia lalu mereka pindah bagian selatan eropa yang bersuhu panas. Pengalaman menghadapi cuaca yang sangat dingin mereka memiliki banyak keahlian atau skill untuk bertahan hidup di daerah yang lebih stabil yaitu di daerah selatan benua eropa. Pada kehidupan baru mereka di daerah selatan benua Eropa banyak ditemukan b

Sejarah Puputan Badung

Gambar
Oleh : Kader Pelestari Budaya Provinsi Bali Angkatan XI Kabupaten Badung Sebuah perahu dagang (skunar) terdampar di pantai timur Kerajaan Badung pada jam 06.00 tanggal 27 Mei 1904. Perahu dagang itu bernama Sri Komala berbendera Belanda yang berlayar dari Banjarmasin mengangkut barang dagangan milik pedagang Cina bernama Kwee Tek Tjiang.             Oleh karena kandas dan perahu pecah, maka para penumpang Sri Komala menurunkan barang yang masih bisa diselamatkan antara lain peti kayu, peti seng dan koper kulit. Nakhoda meminta bantuan kepada syahbandar di Sanur untuk menjaga keamanan barang-barang yang diturunkan. Atas permintaan pemilik barang dan atas saran Sik Bo, seorang warga Cina di Sanur, peristiwa kandasnya perahu dilaporkan kepada Ida Bagus Ngurah, penguasa daerah Sanur dengan tujuan untuk ikut mengamankan barang-barang yang telah diturunkan itu.             Sesuai keterangan Kwee Tek Tjiang dan sesuai juga dengan keterangan nakhoda yang diutus serta didampingi Sik

SEKILAS MENGENAI KABUPATENBADUNG

Gambar
Oleh : Kader Pelestari Budaya Provinsi Bali Angkatan XI Kabupaten Badung A.    Sejarah Umum Kabupaten Badung Kabupaten Badung dulunya bernama Nambangan sebelum diganti oleh I Gusti Ngurah Made Pemecutan pada akhir abad ke-18 . Dengan memiliki keris dan cemeti pusaka Beliau dapat menundukkan Mengwi dan Jembrana hingga tahun 1810, dimana Beliau akhirnya diganti oleh 2 orang raja berikutnya. Kematian Beliau seolah olah sudah diatur oleh penerusnya, barangkali saudaranya, Raja Kesiman yang memerintah dengan mencapai puncaknya tahun 1829-1863. Ia dapat dipengaruhi oleh kekuatan dari luar Bali dan menggantungkan harapan kepada Pemerintah Belanda pada saat itu. Belanda diijinkan Beliau untuk mendirikan stasiunnya di Kuta di tahun 1826, sebagai balasan atas kerjasama itu Beliau mendapatkan hadiah yang sangat indah. Seorang pedagang berkebangsaan Denmark , bernama Mads Johansen Lange yang datang ke Bali pada usia 18 tahun dan memegang peranan sebagai mediator antara Pemerintah Bela